Hijrahnya Sang Guru

Pendahuluan

Dalam dinamika pemerintahan daerah, kebijakan tambahan penghasilan pegawai (TPP) menjadi instrumen penting dalam meningkatkan motivasi dan kinerja aparatur sipil negara (ASN). Tujuannya adalah untuk mendorong profesionalisme, loyalitas, dan kualitas pelayanan publik. Namun, kebijakan ini harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan proporsionalitas. Ketika kebijakan TPP justru menciptakan ketimpangan, maka ia menjadi sumber masalah baru. Itulah yang kini terjadi di Kabupaten Natuna, di mana guru ASN yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, justru merasa tersisihkan karena rendahnya TPP yang diterima dibandingkan dengan ASN yang bekerja di kantor pemerintahan.

Fenomena ini tidak dapat dipandang sebagai keluhan sepihak. Sebaliknya, ini mencerminkan perasaan kolektif yang lahir dari ketimpangan sistematis dalam penghargaan terhadap profesi guru. Ketika salah satu sektor terpenting dalam pembangunan bangsa merasa dipinggirkan, maka pemerintah daerah patut melakukan introspeksi dan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang diterapkan.

Potret Ketimpangan TPP di Natuna

Ketimpangan besaran TPP menjadi isu krusial yang menggambarkan ketidakadilan struktural dalam sistem manajemen ASN di Kabupaten Natuna. Berdasarkan berbagai pengamatan dan laporan lapangan, ASN guru hanya menerima TPP dalam jumlah yang kecil dibandingkan rekan-rekan ASN mereka yang bekerja di lingkungan kantor pemerintah daerah. Walau grade sama namun tunjangan yang diberikan sangat berbeda.

Padahal, guru memiliki peran strategis dalam mencetak generasi muda yang unggul, mempersiapkan sumber daya manusia masa depan, dan menjaga keberlangsungan pendidikan nasional. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, menilai, dan membentuk karakter siswa. Apalagi, di wilayah seperti Natuna yang memiliki tantangan geografis tersendiri, perjuangan guru menjadi lebih berat.

Ketika kontribusi dan pengorbanan guru tidak dihargai secara memadai dalam bentuk TPP yang layak, maka rasa ketidakadilan muncul. Lebih parah lagi, ketimpangan ini menciptakan stigma sosial bahwa guru adalah ASN kelas dua. Ini mencederai semangat profesionalisme dan meruntuhkan etos kerja di kalangan guru.

Fenomena Hijrah Guru ke Kantor

Akibat dari ketimpangan TPP ini, muncul fenomena “hijrah” di kalangan guru. Bukan hijrah secara spiritual, tetapi perpindahan status dan lokasi kerja dari sekolah ke kantor pemerintahan. Banyak guru ASN khususnya PNS yang mengajukan permohonan pindah ke jabatan struktural di instansi pemerintah daerah karena merasa di sana penghasilan lebih tinggi dan lebih di hargai secara finansial.

Fenomena ini menimbulkan sejumlah persoalan:

Kekurangan Guru di Sekolah: Sekolah, terutama di wilayah pelosok, mulai mengalami kekurangan guru karena banyak yang hijrah ke kantor. Ini berdampak langsung pada kualitas pembelajaran dan pelayanan pendidikan. Dalam beberapa kasus, mata pelajaran penting tidak dapat diajarkan karena ketiadaan guru pengampu.

Terputusnya Rantai Pengembangan Profesi: Ketika guru meninggalkan profesinya, rantai pengembangan karier fungsional sebagai guru pun terputus. Ini merugikan dunia pendidikan secara sistemik karena akan terjadi kekosongan tenaga ahli dalam jangka panjang.

Menurunnya Citra Profesi Guru: Hijrahnya guru ke kantor dapat menimbulkan persepsi negatif bahwa profesi guru kurang menjanjikan secara ekonomi dan sosial. Ini membuat lulusan muda yang potensial enggan memilih jalur profesi pendidik.

Lebih jauh, fenomena ini menciptakan efek domino. Ketika banyak guru berhijrah, maka beban kerja guru yang tersisa menjadi lebih berat, memicu stres, dan akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran. Hal ini akan mengganggu stabilitas sistem pendidikan lokal.

Turunnya Kepercayaan Guru Terhadap Pemerintah Daerah

Kebijakan TPP yang tidak adil tidak hanya berdampak pada aspek materi, tetapi juga secara psikologis dan sosiologis. Banyak guru merasa bahwa pemerintah daerah tidak memprioritaskan dunia pendidikan. Rasa tidak dihargai dan diperlakukan tidak adil ini menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap pemangku kebijakan.

Kepercayaan adalah modal utama dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat, terutama dalam sektor strategis seperti pendidikan. Ketika guru-sebagai pilar utama pendidikan—kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, maka akan sulit membangun sistem pendidikan yang sehat, bermutu, dan berkelanjutan.

Turunnya kepercayaan ini juga bisa berdampak pada:

Menurunnya motivasi kerja

Meningkatnya usulan mutasi dan mutase guru ke kantor

Melemahnya partisipasi dalam program-program pendidikan

Bisa memicu Kurangnya loyalitas terhadap kebijakan pemerintah daerah

Pemerintah daerah harus memahami bahwa hilangnya kepercayaan bukan hanya kerugian simbolik, tetapi kerugian strategis. Guru yang tidak percaya pada pemerintah cenderung apatis terhadap program-program inovasi pendidikan.

Landasan Hukum Kesejahteraan Guru

Penting untuk meninjau kembali kebijakan TPP dalam bingkai hukum yang berlaku agar tidak menyimpang dari mandat konstitusi dan undang-undang. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang relevan antara lain:

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 40 ayat (1) huruf c, menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 14 ayat (1) huruf a, menyatakan bahwa guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, menegaskan bahwa pemerintah wajib memberikan tunjangan profesi yang layak bagi guru yang telah tersertifikasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mengatur prinsip efisiensi, efektivitas, dan keadilan dalam pengalokasian anggaran daerah, termasuk alokasi untuk TPP ASN.

Permendagri Nomor 6 Tahun 2021 tentang Teknis Tambahan Penghasilan Pegawai ASN di Lingkungan Pemerintah Daerah, yang menyebutkan bahwa pemberian TPP harus berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja secara objektif.

Ketidaksetaraan pemberian TPP antara guru dan ASN kantor, apabila tidak didasarkan pada analisis jabatan dan beban kerja yang adil, bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pengelolaan keuangan daerah.

Dengan merujuk pada aturan di atas, pemerintah daerah seharusnya dapat membuat kebijakan afirmatif yang memihak pada guru, terutama mereka yang bertugas di wilayah terpencil seperti Natuna.

Pendidikan Bukan Sekadar Angka

Dalam banyak kebijakan publik, pendidikan sering kali diposisikan sebagai salah satu sektor strategis. Namun dalam implementasinya, sektor ini sering kali tidak mendapat porsi yang proporsional dari sisi anggaran dan perhatian. Banyak kebijakan dibuat berdasarkan pertimbangan administratif dan efisiensi, bukan keadilan dan kualitas.

Pendidikan tidak bisa dilihat semata-mata dari sisi efisiensi anggaran. Pendidikan adalah proses panjang yang membutuhkan dedikasi, konsistensi, dan penghargaan terhadap para pelakunya. Guru sebagai penggerak utama pendidikan harus diberi ruang dan penghargaan yang layak agar mereka bisa bekerja dengan optimal.

Perlu ditegaskan bahwa investasi dalam pendidikan bukanlah pemborosan, melainkan strategi jangka panjang. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa salah satu kunci kemajuan mereka adalah penghargaan terhadap guru dan alokasi anggaran pendidikan yang memadai. Daerah seperti Natuna pun harus belajar dari ini.

Tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan dan seruan untuk perubahan. Semoga menjadi bahan refleksi bersama demi pendidikan Natuna yang lebih adil dan bermartabat.(***)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights